Subrosa Poems's Blog
Sub Rosa Poems

Sunday, February 08, 2009

Gading Retak Sastra Maya
by : Theresia Purbandini

Di tengah minimnya apresiasi terhadap dunia sastra, muncullah karya-karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan-sastrawan yang eksis melalui dunia maya. Perspektif mereka sebagai sastrawan dihadirkan pada ruang-ruang situs dengan segala kemungkinan dan keberagaman yang mereka miliki.

Diakui oleh Gratiagusti Chananya Rompas sebagai salah satu pendiri komunitas Bunga Matahari, sastra cyber adalah perluasan medium karya sastra yang memanjakan para penyair dengan fasilitas dunia maya. “Awalnya saya terdorong karena milis Bunga Matahari. Di sana kita dapat bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan sama, berinteraksi, lalu dengan mudah menayangkan tulisan melalui blog,” ujar penyair yang baru saja menerbitkan buku Kota Ini Kembang Api ini.

Hal yang sama dikemukakan oleh Tiara Aurelia Widjanarko yang juga aktif di komunitas yang sama. “Sekadar sharing mulanya." Ternyata medium yang amat bergantung terhadap listrik ini, bisa dibilang menjadi media alternatif untuk memajang karya sastra dan juga menjembatani si penulis dengan pembacanya.

Namun angin baru dalam dunia sastra Indonesia, yang telah bertiup sejak kurang lebih satu dasawarsa ini, dianggap Tiara yang juga aktif mengajar sebagai dosen dan penyair ini, tak ubahnya ‘Tak Ada Gading Yang Tak Retak’. “Meski membantu, tapi dengan pengalaman kognitif seorang penyair melihat sejumlah karya lainnya secara mudah dan bebas, akan menimbulkan risiko menghilangkan jati diri bagi penyair yang belum mapan. Terkadang, banyaknya pilihan referensi dapat membiaskan karya yang diciptakannya,” ujar penyair yang meraih gelar S1 dari Fisip Universitas Pelita Harapan dengan predikat cum laude ini.

Pintu Masalah Baru

Pendapat Tiara diamini Anya yang merasa kelahiran sastra cyber membuka pintu masalah baru. “Selain menawarkan solusi, sastra cyber ini juga menambah masalah baru. Saya sebagai penggiat web maupun blog, hanya ingin berkreasi dan menjalaninya saja, tanpa ingin ikut campur dengan persoalan otensitas ini,“ ujar penggiat blog yang juga merupakan pendiri Iris Pustaka.

Kehadiran situs-situs yang memperkaya pola pikir dengan berbagai karya sastra yang telah diolah dalam beragam bahasa, memberikan peluang untuk menikmati buah refleksi pemikiran dan pergulatan sastrawan dengan situasi global. Karena sastra cyber tak hanya dapat diakses melalui web atau blog tertentu saja, tapi juga melalui media mailing list yang membuat jalinan pergaulan sastrawan tak lagi mengenal batas dunia.

Lewat situs-situs seperti taman penyair bisa dinikmati suguhan bahasa penyair-penyair Indonesia seperti Rendra, Goenawan Mohamad dan yang lainnya. Ketika berselancar di situs taman dongeng akan berhadapan dengan cerita-cerita pendek. Selain itu, bila menjelajah ke situs taman gagasan akan mendapatkan peluang memperoleh informasi dan pemikiran tentang kesusastraan dan kebudayaan.

Bagi blogger seperti Tiara dan Anya yang memang sengaja memuat karyanya di situs pribadi, sastra cyber menjadi media yang cukup ampuh menyedot animo pembaca dengan cepat. Juga membuka peluang bagi kecenderungan pembaca untuk mengomentari bahkan mencaci dengan segera. “Komentar dan kritik bukan untuk dijauhi, namun juga tak dapat dihindari. Karena semua orang punya hak untuk berkomentar. Inilah yang membuat sastra cyber lebih cepat berkembang dibanding sastra cetak,” ujar Anya tanpa bermaksud memprovokasi.

Meski tak dapat dipungkiri, dengan media baku seperti buku dan sastra cetak melalui koran yang sudah lebih senior ketimbang cyber, secara kualitatif hasil sastra cyber pun menjadi perdebatan berbagai pihak. Tapi Tiara mengaku kurang setuju dengan anggapan tiadanya pengeditan di sastra cyber sebagai alasan alasan ketidakkompetenannya. “Buku menjadi lebih selektif, ya karena melalui proses yang lama dibanding melalui web atau blog,” katanya.

Masih Mengidamkan Buku

Hasil karya sastra cyber juga kerap diidentikkan lebih banyak sebagai pengalaman hidup si penulis. Kenyataan mana tidak ditampik oleh dua penulis muda berbakat ini. Anya mengaku mendapat sejumput ilham ketika ia berhadapan dengan pengalaman keseharian yang kemudian ia gelontorkan dalam kumpulan kata-kata indah. “Temanya mewakili perasaan saya sendiri. Secara kasar, nuansa yang saya ciptakan terkesan gelap, dengan karakter supranatural yang dibumbui elemen-elemen ketakutan serta kesedihan,” ungkap perempuan yang mengambil S2 di London ini.

Berbeda dengan Tiara yang menjuntaikan kata demi kata puitisnya dalam antologi puisi berjudul Sub Rosa. “Kumpulan puisi ini menceritakan bagaimana terkadang kita hanya melihat interior semata, karena di balik tampilan sempurna seseorang, pasti dia juga pernah menyimpan masa kelabu. Makabya, saya ingin memberi penglihatan bahwa harapan akan selalu ada,” ujar pemenang finalis Erlangga 2008 dengan bukunya yang berjudul Jangan Bilang Siapa-siapa.

Meski kedua pengunduh internet ini sudah tak perlu diragukan lagi eksistensinya di dunia maya sebagai seorang penulis, namun kepuasan khusus pula baru dirasakan tercapai bilamana seorang penulis telah berhasil membukukan karya-karyanya. Buku memang masih menjadi ajang pembuktian bagi sebagian kalangan sastrawan mengukuhkan eksistensinya.

“Masing-masing punya tantangan sendiri. Kalau sastra cyber sudah jelas sifatnya interaktif dan langsung. Sedangkan buku treatmentnya beda, melalui proses perjalanan panjang dan lebih mahal,” ungkap Anya yang sukses menerbitkan sendiri bukunya. Theresia Purbandini

Thursday, February 14, 2008

Valentine kali ini sungguh spesial buat saya. Ada kiriman datang dari Eka Dwibhakti berupa karyanya; buku, kalung, kalender, pembatas buku, hingga paper bagnya pun menjadikan Sub Rosa sebagai nafasnya. Sungguh visualisasi yang tidak hanya melengkapi tapi menyempurnakan. Saya rasa ini adalah kehormatan terbesar seorang penyair, karyanya menginspirasi orang lain dan bahkan berbalik lagi menyempurnakan karya terdahulunya. Bravo Eka! Tidak mungkin lebih baik lagi bila jatuh di tangan orang lain. Berikut ini saya upload salah satu karya Eka yang merupakan favorit saya. Visualisasi untuk puisi Abadi.


Wednesday, February 13, 2008


Special gift for your Valentine's Day!!!
Sponsored by 10deNcies and VieraMedia.

Saturday, February 02, 2008

Ada satu kabar gembira. Menyenangkan sekali bila ada orang yang betul-betul menghargai karya kita, bukan? Apalagi mendengar yang satu ini, yang menjadikan Sub Rosa sebagai materi skripsinya di Desain Grafis ITB. Namanya Eka Dwibhakti, suatu hari dia menghubungiku lewat email yang dilanjutkan dengan sms dan nantinya saya berkunjung ke Bandung untuk memperlancar proses penggalian data dalam bentuk interview. Dia membuat visualisasi Sub Rosa, dan inilah salah satunya, yang diprint di panel besar ukuran 70 x 50 dan menjadi favorit teman-teman DG ITB.




Btw hasil sidang skripsinya tanggal 29 Januari 2008 kemarin, adalah straight A! WOW! Congrats ya beb... =)
Okay, okay..it's been a while..or maybe it's been a year! Apa mau dikata, bukannya tidak niat mengupdate tapi Wisata Belanja kemarin benar-benar menguras tenaga. Sekarang, setelah selesai kontrak dengan Trans 7 dan kembali pada aktivitas mengajar, saya menemukan kerinduan yang amat sangat dengan dunia yang tak pernah bisa total saya tinggalkan. Bahkan sekembalinya saya menetap di Jakarta, ada sebuah puisi dari Kurnia Effendi yang dimuat di Kompas, katanya itu hadiah untuk saya.

Kurnia Effendi

Mata Kata

+ Aurelia Tiara Widjanarko

Bertahun-tahun kuraut kata hingga langsing dan runcing. Bertahun-tahun kugurat halaman buku, mabuk dan mengigau sepanjang waktu. Bertahun-tahun mengitari panggung, menari seperti kurcaci lupa diri. Mewarnai gugusan peristiwa dengan sejumlah cinta dan lara. Bertahun-tahun membangun jembatan, antara satu bukit dan bukit berikutnya, dengan kata- kata. Bertahun-tahun jumawa di atas kuda kata-kata, berlari kencang tanpa menoleh lagi.

Lalu, pada sebuah tarikh muda, engkau lahir dari sunyi perigi bermata air kata, jernih
dan bercahaya. Lalu engkau bangkit dari abu unggun yang menyala semalam suntuk
membakar kayu kata-kata. Mata beningmu membaca semua kata dari setiap benang sari dan udara yang mempersinggahkan pada putik, menjadikannya tunas buah. Lalu engkau memeras perih kata dari tangkai zaitun, menyulingnya menjadi tetes-tetes harum dalam bejana. Tak
ada jejak pada kata-kata dari tempatmu (mungkin) pernah berguru.

Ingin kuhapus kata dari seluruh mantra yang melekat di mulutku. Ingin kuhapus kata
dari jubah dan terompah yang pernah kuajak mengembara. Ingin kuhapus kata dari mimpi
dan nyanyian yang bertahun-tahun memenuhi tidurku. Ingin kembali hening, menghilang dari suara, bersembunyi di balik cadar riuh rendah kata-kata. Pura-pura tak pernah mengenal kata yang bertahun-tahun meriwayatkan rahasiaku sebagai seorang kelana.

Dengan sepasang mata, kau berkata-kata. Mata sebening kaca, kaca sebening kata.
Dalam matamu, kata selalu berkaca. Mencari bayang-bayang simetri, sudut tersembunyi,
runcing dan bening. Pendar cahaya matamu menyusun kata-kata yang berkaca-kaca. Kata-
kata yang tidak menaruh dendam pada kaca, tempat mata memandang. Kaca yang senantiasa memantulkan kata-kata ke dalam mata.

Aku percaya: hanya dari lesung pipimu, tersenyum setiap kata
Dan matamu adalah genangan kata-kata sebening kaca

2007

Nah loh! Luar biasa banget kan tuh puisinya. Emang beda deh yang udah katam hehehe..denger-denger juga banyak anak Apsas yang sms beliau karena mengiri katanya. Ah, bisa saja..tapi sungguh, nampaknya saya memang pantas berbangga hati, karena bisa sedikit menginspirasi kakakku itu.

Sunday, June 24, 2007

Coffee and Chat

by Olin Monteiro

Jumat kemarin akhirnya berhasil juga bertemu Tiara si penyair seorangsenja,yang sudah meluncurkan buku indie puisinya yang pertama Mei kemarin. Non satu ini lagi puasa, jadi terpaksa nikmatnya caramel machiato menjadi godaan setan buat ibu dosen muda satuini.

Akhirnya kita ngalor ngidul ngomongin macem-macem, setelah daku serahkan bukunya Orhan Pamuk sebagai kado spesial. Awalnya kita ngobrolin Barrack Obama yang bukunya sedang Olin baca, sambil memuji kehebatan Obama pidato dan menggaet massanya. Obrolan juga sempat mampir kekehidupan cinta dan keluarga. Dengan sok tua gw berusaha sharing tentang arti pernikahan, anak dan jugakehidupan berkeluarga.

Saran dariolin, ya pikir dulu lah sebelummenikah. Karena konsekuensinya sangat berat dan ada hal-hal penting dalam kebebasan hidup kita yang harus dipotong demi kepentingan keluarga.(look who's talking hehehe). Wah Tiara kayaknya jadi mikir nih, mau berkeluarga atau tidak ya? Hmmm jadi bingung kayak tokoh Ambar di film 3 Hari untuk Selamanya. Jangan bingung say, you have plenty of time to go.

Tiara yang manis kayaknya lebih banyak mendengar, walaupun sempat cerita tentang jadi manajer seorang fotografer dan nanti mau ke Kemang janjian. Ia juga sempat cerita soal ketidaksukaannya dg brondong alias cowo lebih muda, seperti para muridnya di kampus yang pasti doyan godain ibu dosen caem ini. Katanya, wong yang seumuran aja daku tak suka, apalagi yang lebih muda hehehe. Nah.... jadi suka yang gimana Ti???? hehehhe

Tiara juga baru berultah ke 24 minggulalu. Sempat merayakan hari jadinya di rumah bersama sahabat dekat dan seember bir yang sempat jadi tempat celup kakinya. Dinginnnnn dan sejuk. Ok dear, happy birthday. Next time wawancara dilanjutkan ya???

Thursday, May 31, 2007

Radio to Radio

Setelah dua minggu yang lalu Sub Rosa Poems sempat mampir ke GMHR-nya Hard Rock FM bersama Steny dan Panji, akhirnya kemarin sore salah satu PR terselesaikan lagi. Sub Rosa Poems kembali menemani para pendengar yang mungkin sedang menikmati kemacetan jalan raya, mungkin ditambah snack dan kopi/teh sebagai pelengkap.

Bersama Sarah selaku penyiar dan produsernya Hanny, Sub Rosa Poems mengisi acara bincang-bincang dengan tema 'Puisi dan Autan' di radio Mustang 88.0 FM. Terima kasih untuk yang berpartisipasi dan beruntung mendapatkan dua buah buku Sub Rosa Poems secara cuma-cuma.

Thursday, May 10, 2007

Kapanlagi.com - Setelah berkeliling ke sejumlah kota guna meluncurkan buku puisinya Sub Rosa, penyair belia Aurelia Tiara Widjanarko, 24, mengenalkan karyanya khusus bagi publik Jakarta, Jumat (4/5) malam.

"Sub Rosa artinya di bawah bunga mawar, yaitu istilah untuk situasi di mana pembicaraan bersifat rahasia ketika digantungkan bunga mawar pada pintu ruang pertemuan," kata Tiara dalam peluncuran bukunya di Jakarta, Jumat (4/5) malam.

Buku setebal 174 halaman itu secara umum bertutur tentang cinta, yang dikelompokkan dalam enam bagian yakni penemuan rasa, penjajakan, rindu, klimaks, ingkarm dan ikhlas. Masing-masing bagian itu dipisahkan dengan foto-foto artistiknya dalam balutan gaun panjang tanpa lengan.

Uniknya, meski bertutur tentang cinta, namun Tiara tak menggunakan kata-kata yang indah dan puitis untuk menggambarkannya.

"Yang terpenting adalah kejujuran, dan bisa membuat orang yang membaca tergugah atau teringat pernah merasakan hal serupa," ujarnya.

Dalam buku puisinya, Tiara yang keponakan artis Inggrid Widjanarko ini menyisipkan pula kata-kata berbahasa asing seperti Bahasa Latin dan Bahasa Jawa yang dengan sengaja tak diberinya keterangan arti.

Penyair terkenal asal Yogyakarta, Joko Pinurbo, yang malam itu diundang untuk membahas puisi-puisi Sub Rosa mengungkapkan penyair yang lulus pendidikan Strata-1 dengan predikat summa cum laude ini memiliki orisionalitas karya.

"Yang paling istimewa, saya tidak bisa melacak jejak penyair-penyair sebelumnya dalam karya Tiara," katanya.

Pria yang akrab disapa Jopin (Joko Pinurbo) ini mengungkapkan sebagian besar penyair muda seringkali terinspirasi oleh penyair-penyair terkenal yang dikaguminya. Inspirasi itu akhirnya ikut larut larut dalam karya-karya penyair baru itu.

"Dia memiliki estetika tertentu yang menjadi acuan dan belum terkontaminasi estetika penyair senior," tambahnya.

Keliling Kota

Jakarta bukanlah yang pertama menjadi sasaran Tiara mempublikasikan karyanya. Sebelumnya, buku yang diterbitkan oleh PT Vieramedia ini telah dikenalkan pada publik yang tergabung dalam komunitas-komunitas baca puisi maupun prosa. Kota-kota yang sudah dikunjungi adalah Bandung, Surabaya, Semarang, Bali.

"Karena waktu itu belum selesai S-2 saya, belum kepikiran untuk undang teman-teman di Jakarta. Peluncuran saya lebih banyak ke komunitas-komunitas," kata lulusan S-1 FISIP Universtas Pelita Harapan ini.

Buku kumpulan puisi ini ditulisnya dalam kesibukan menyelesaikan kuliah S-2 di Prasetya Mulya Business School dengan konsentrasi Management Finance.

Dengan dibantu orang tuanya, sekitar 100 puisi dari 1.000 lebih jumlah tulisan Tiara di blog-nya, akhirnya diterbitkan dalam Sub Rosa. (*/boo)