Di tengah minimnya apresiasi terhadap dunia sastra, muncullah karya-karya sastra yang diciptakan oleh sastrawan-sastrawan yang eksis melalui dunia maya. Perspektif mereka sebagai sastrawan dihadirkan pada ruang-ruang situs dengan segala kemungkinan dan keberagaman yang mereka miliki.
Diakui oleh Gratiagusti Chananya Rompas sebagai salah satu pendiri komunitas Bunga Matahari, sastra cyber adalah perluasan medium karya sastra yang memanjakan para penyair dengan fasilitas dunia maya. “Awalnya saya terdorong karena milis Bunga Matahari. Di sana kita dapat bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan sama, berinteraksi, lalu dengan mudah menayangkan tulisan melalui blog,” ujar penyair yang baru saja menerbitkan buku Kota Ini Kembang Api ini.
Hal yang sama dikemukakan oleh Tiara Aurelia Widjanarko yang juga aktif di komunitas yang sama. “Sekadar sharing mulanya." Ternyata medium yang amat bergantung terhadap listrik ini, bisa dibilang menjadi media alternatif untuk memajang karya sastra dan juga menjembatani si penulis dengan pembacanya.
Namun angin baru dalam dunia sastra Indonesia, yang telah bertiup sejak kurang lebih satu dasawarsa ini, dianggap Tiara yang juga aktif mengajar sebagai dosen dan penyair ini, tak ubahnya ‘Tak Ada Gading Yang Tak Retak’. “Meski membantu, tapi dengan pengalaman kognitif seorang penyair melihat sejumlah karya lainnya secara mudah dan bebas, akan menimbulkan risiko menghilangkan jati diri bagi penyair yang belum mapan. Terkadang, banyaknya pilihan referensi dapat membiaskan karya yang diciptakannya,” ujar penyair yang meraih gelar S1 dari Fisip Universitas Pelita Harapan dengan predikat cum laude ini.
Pintu Masalah Baru
Pendapat Tiara diamini Anya yang merasa kelahiran sastra cyber membuka pintu masalah baru. “Selain menawarkan solusi, sastra cyber ini juga menambah masalah baru. Saya sebagai penggiat web maupun blog, hanya ingin berkreasi dan menjalaninya saja, tanpa ingin ikut campur dengan persoalan otensitas ini,“ ujar penggiat blog yang juga merupakan pendiri Iris Pustaka.
Kehadiran situs-situs yang memperkaya pola pikir dengan berbagai karya sastra yang telah diolah dalam beragam bahasa, memberikan peluang untuk menikmati buah refleksi pemikiran dan pergulatan sastrawan dengan situasi global. Karena sastra cyber tak hanya dapat diakses melalui web atau blog tertentu saja, tapi juga melalui media mailing list yang membuat jalinan pergaulan sastrawan tak lagi mengenal batas dunia.
Lewat situs-situs seperti taman penyair bisa dinikmati suguhan bahasa penyair-penyair Indonesia seperti Rendra, Goenawan Mohamad dan yang lainnya. Ketika berselancar di situs taman dongeng akan berhadapan dengan cerita-cerita pendek. Selain itu, bila menjelajah ke situs taman gagasan akan mendapatkan peluang memperoleh informasi dan pemikiran tentang kesusastraan dan kebudayaan.
Bagi blogger seperti Tiara dan Anya yang memang sengaja memuat karyanya di situs pribadi, sastra cyber menjadi media yang cukup ampuh menyedot animo pembaca dengan cepat. Juga membuka peluang bagi kecenderungan pembaca untuk mengomentari bahkan mencaci dengan segera. “Komentar dan kritik bukan untuk dijauhi, namun juga tak dapat dihindari. Karena semua orang punya hak untuk berkomentar. Inilah yang membuat sastra cyber lebih cepat berkembang dibanding sastra cetak,” ujar Anya tanpa bermaksud memprovokasi.
Meski tak dapat dipungkiri, dengan media baku seperti buku dan sastra cetak melalui koran yang sudah lebih senior ketimbang cyber, secara kualitatif hasil sastra cyber pun menjadi perdebatan berbagai pihak. Tapi Tiara mengaku kurang setuju dengan anggapan tiadanya pengeditan di sastra cyber sebagai alasan alasan ketidakkompetenannya. “Buku menjadi lebih selektif, ya karena melalui proses yang lama dibanding melalui web atau blog,” katanya.
Masih Mengidamkan Buku
Hasil karya sastra cyber juga kerap diidentikkan lebih banyak sebagai pengalaman hidup si penulis. Kenyataan mana tidak ditampik oleh dua penulis muda berbakat ini. Anya mengaku mendapat sejumput ilham ketika ia berhadapan dengan pengalaman keseharian yang kemudian ia gelontorkan dalam kumpulan kata-kata indah. “Temanya mewakili perasaan saya sendiri. Secara kasar, nuansa yang saya ciptakan terkesan gelap, dengan karakter supranatural yang dibumbui elemen-elemen ketakutan serta kesedihan,” ungkap perempuan yang mengambil S2 di London ini.
Berbeda dengan Tiara yang menjuntaikan kata demi kata puitisnya dalam antologi puisi berjudul Sub Rosa. “Kumpulan puisi ini menceritakan bagaimana terkadang kita hanya melihat interior semata, karena di balik tampilan sempurna seseorang, pasti dia juga pernah menyimpan masa kelabu. Makabya, saya ingin memberi penglihatan bahwa harapan akan selalu ada,” ujar pemenang finalis Erlangga 2008 dengan bukunya yang berjudul Jangan Bilang Siapa-siapa.
Meski kedua pengunduh internet ini sudah tak perlu diragukan lagi eksistensinya di dunia maya sebagai seorang penulis, namun kepuasan khusus pula baru dirasakan tercapai bilamana seorang penulis telah berhasil membukukan karya-karyanya. Buku memang masih menjadi ajang pembuktian bagi sebagian kalangan sastrawan mengukuhkan eksistensinya.
“Masing-masing punya tantangan sendiri. Kalau sastra cyber sudah jelas sifatnya interaktif dan langsung. Sedangkan buku treatmentnya beda, melalui proses perjalanan panjang dan lebih mahal,” ungkap Anya yang sukses menerbitkan sendiri bukunya. Theresia Purbandini